"Bisnis Pembuatan Tali Rafia itu sangat mudah, murah dan penghasilannya cukup besar"
Kebutuhan yang tinggi akan tali
rafia ikut mengerek laba produsen mesin pembuat tali rafia lokal. Meski dengan
harga yang lebih murah namun kualitas mesin tak kalah jauh dari mesin impor,
para produsen mesin ini juga mampu memperoleh omzet hingga ratusan juta rupiah.
Pembeli mesin ini tak hanya pemilik toko kelontong namun juga pemilik pabrik.
Siapa yang tidak kenal dengan tali
rafia? Tali plastik berwarna-warni ini sudah akrab dengan kehidupan kita
sehari-hari. Maklum, untuk kebutuhan ikat mengikat wadah ukuran besar tali
rafia ini lebih efektif ketimbang menggunakan tali plastik atau tampar. Selain
itu, harga tali ini juga murah meriah dibandingkan dengan jenis tali yang lain.
Itulah sebabnya, bisnis tali rafia
juga tak ada matinya. Pengusaha kelas apa saja menggunakan tali ini untuk
mempermudah pengemasan. Nah, seiring dengan larisnya tali rafia, para produsen
mesin pembuatan tali ini pun merasakan kenaikan penjualan yang lumayan tinggi.
Lihat saja pengalaman Hadi Siswono,
produsen mesin pembuat tali rafia di bawah CV Plastik Trimendo di Tangerang.
Menurut Hadi, bisnisnya terkerek naik seiring dengan larisnya penjualan tali
rafia.
Hadi mulai menekuni bisnis pembuatan
mesin tali rafia sejak 2005 lalu. Sebelumnya, ia hanya membuka bengkel sepeda
motor. Ide membuat mesin pembuat tali rafia ini sebenarnya datang dari
teman-temannya. Bagi Hadi membuat mesin tali rafia ini juga tak susah karena
dia sarjana mesin. “Awalnya, saya melihat mesin merek luar, kemudian saya
modifikasi,” ujarnya.
Cara kerja mesin ini sejatinya sederhana
saja, yakni mesin akan mencacah bijih plastik kering menjadi tali rafia. “Ada
sistem pemanasan yang membuat biji plastik menjadi lembaran tali,” ujar Hadi.
Saat ini, dalam sebulan ia mampu
memproduksi dua hingga tiga mesin berkapasitas 15 ton tali rafia. Hadi menjual
mesin itu seharga Rp 40 juta hingga Rp 60 juta. Karena itu, dalam sebulan ia
bisa meraup omzet hingga Rp 120 juta. “Kalau untuk mesin otomatis harganya Rp
60 juta,” ujarnya.
Hadi bilang, pembeli mesin tali
rafia adalah pengusaha tali rafia di seputaran Jabodetabek dan Bandung. Pria
berusia 45 tahun ini menambahkan, permintaan mesin belakangan datang dari luar
Jawa. “Namun pemesanannya belum rutin,” ujarnya.
Pembuat mesin tali rafia lainnya
adalah Dani Buldani pemilik CV Cahaya Tehnik di Cicalengka, Jawa Barat. Lelaki
32 tahun ini telah memproduksi mesin tali rafia sejak 2008 lalu. Menurut Dani,
pemain bisnis ini masih sedikit. Selain itu, mesin tali rafia ini juga tidak
diproduksi secara massal.
Namun, bagi Hadi maupun Dani
mengingatkan, bagi konsumen yang ingin membeli mesin ini harus memesan terlebih
dahulu. Pasalnya, pembuatan mesin memakan waktu selama satu minggu. Selain itu,
pelanggan juga harus menyetor uang muka alias down payment sebesar 10% sampai
20% dari harga beli. “Setelah selesai, pelanggan kami beri tahu dan bisa
mengirimkan biaya pelunasan. Setelah itu, mesin pun siap kami kirimkan,” tutur
Dani.
Biasanya pelanggan Dani adalah
pabrik pembuat tali rafia maupun toko grosir penjual aneka bahan plastik yang
ada di Jabodetabek, Makassar, Batam. Medan, Kalimantan, Sulawesi, dan
Pontianak.
Mesin pembuat tali rafia made in
Dani ini dibanderol seharga Rp 40 juta, untuk mesin tali rafia ukuran kecil.
Dan harga sebesar Rp 55 juta untuk satu unit mesin tali rafia besar. Dalam
sebulan, Dani dengan dibantu sembilan karyawan sanggup menghasilkan hingga
empat unit mesin.
Dengan begitu, omzet yang didulang
pun mencapai Rp 100 juta per bulan. “Mesin buatan lokal ini memiliki cara kerja
yang sama, menghasilkan kualitas yang sama dan tingkat keawetan yang sama
dengan mesin impor meski harga jauh lebih murah,” pungkas Dani.
Mengikat laba dari limbah plastik
yang menjadi tali rafia
Plastik adalah salah satu jenis
sampah yang lama terurai oleh tanah. Namun, bagi orang yang jeli, sampah
plastik yang mencemari lingkungan itu bisa menjadi pundi-pundi rupiah setelah
diolah menjadi tali rafia. Selain ramah lingkungan, tali rafia dari sampah
plastik itu mendatangkan omzet hampir Rp 500 juta per bulan.
Sebagian
besar dari kita tentu tahu dan pernah mempergunakan tali rafia. Bahkan, bisa
dibilang, tali rafia adalah tali yang paling sering kita gunakan untuk mengikat
saat ini, dibanding dengan tali plastik atau tali tampar yang terbuat dari
serabut kelapa.
Karena
banyak digunakan itulah, tali rafia jelas punya nilai ekonomis yang tinggi.
Namun, kalau kita telisik lebih jauh, tali rafia ini juga tergolong produk
ramah lingkungan. Sebab, saat ini di pasaran ada tali rafia yang terbuat dari
limbah plastik sisa pabrik atau limbah plastik sisa rumah tangga.
Tak
percaya? Lihat saja yang dilakukan Lukas Subagio, pemilik usaha Mangun Wijaya
Plastik asal Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak 2002 silam, ia telah mendaur ulang
limbah plastik itu untuk dijadikan tali rafia.
Lukas
menjual tali rafia dari limbah itu dalam bentuk gelondongan. Biasanya, setelah
sampai di tangan distributor, tali rafia dalam gulungan besar itu kemudian
dikemas ke bentuk gulungan yang lebih kecil sebelum dilempar ke agen atau ke
konsumen. “Mereka menjual kembali tali rafia itu dalam ukuran yang lebih
kecil,” terang Lukas.
Tali
rafia buatan Lukas itu tidak hanya dijual di sekitar Jawa Timur saja. Namun,
sebagian besar lainnya telah menggelinding hingga ke Samarinda, Banjarmasin,
Makassar, dan sampai Jayapura, Papua.
Namun,
sebenarnya Lukas tidak menjual tali rafia dalam bentuk gulungan, namun kiloan.
Harga tali rafia itu dibanderol mulai Rp 6.500 per kilogram (kg) hingga 13.500
per kg, tergantung kualitas.
Lukas
menjelaskan, tali rafia berkualitas bagus produksinya bercirikan lembut, tipis,
namun tetap kuat. “Kualitas menentukan harga jual,” terang Lukas.
Sedangkan
tali rafia berkualitas sedang biasanya berwarna-warni, tebal, dan tidak
mengilat. Adapun tali rafia berkualitas rendah memiliki ciri sama dengan tali
rafia kualitas sedang, namun bedanya tali rafia kualitas rendah tidak memiliki
variasi warna.
Karena
berbahan baku dari limbah plastik, jelas Lukas, ia tak pernah kesulitan bahan
baku. Ia secara rutin mendapat pasokan limbah plastik dari pengepul plastik
bekas dari Surabaya.
Dari
tangan pengepul, Lukas membeli limbah plastik itu seharga Rp 2.300–Rp 4.000 per
kg, tergantung dari jenis plastik.
Menurut
Lukas, plastik bekas terbaik untuk bahan baku tali rafia itu adalah limbah
gelas plastik. Adapun limbah plastik kerupuk, plastik kapas, atau plastik bekas
karung beras kualitasnya berada di bawah limbah plastik gelas.
Namun,
Lukas ogah membeli limbah plastik yang dipulung dari tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah. Ia bilang, limbah plastik asal TPA memiliki aroma yang menyengat
yang bisa mempengaruhi kualitas tali rafia.
Dalam
memproduksi tali rafia dari limbah plastik itu, setidaknya butuh beberapa
tahapan. Tahapan penting adalah pembuatan biji plastik dari campuran limbah
plastik dengan polietilena (PE). Setelah itu baru tahapan pemanasan dengan oven
kemudian proses cetak dengan mesin.
Lukas
saat ini mampu memproduksi 2.400 kg tali rafia per hari. Seluruh produksi ia
salurkan ke distributor dan agen. Dengan patokan harga Rp 6.500 per kg, Lukas
setidaknya mengantongi omzet Rp 15,6 juta per hari atau Rp 468 juta per bulan.
Menurut
Lukas, bisnis tali rafia tidak hanya menguntungkan dirinya saja, tetapi juga
kepada pengepul limbah plastik, juga distributor, dan pedagang tali rafia.
“Termasuk keuntungan untuk lingkungan,” terang Lukas. Ia memberi contoh,
seorang agen tali rafia saja bisa mendapatkan laba Rp 1.000 dari penjualan satu
kilogram tali rafia.
Pelaku
bisnis lain yang mengolah limbah plastik menjadi tali rafia adalah Putranto,
pemilik CV Dian Selaras di Tangerang, Banten. Sejak 2010 lalu, Putranto melihat
adanya peluang bisnis tali rafia berbahan limbah plastik itu.
Dengan
mengusung merek Cap Gajah, laki-laki yang kerap disapa Anton itu memiliki dua
mesin produksi tali rafia masing-masing berkapasitas produksi sebanyak 6.000 kg
per bulan. Sebagian besar produk tali rafia itu dijual Anton di Jakarta dan
sebagian lainnya di Jawa. “Distribusi masih terbatas,” kata pria berusia 30
tahun itu.
Sama
dengan Lukas, Anton juga tidak mengalami kesulitan untuk mencari bahan baku
limbah plastik. Ia mendapatkan limbah plastik dari pengumpul limbah plastik di
Tangerang. “Kesulitan ada pada kualitas limbah plastik yang ada di bawah
kebutuhan standar,” katanya.
Namun
begitu, ia berusaha untuk memaksimalkan sampah plastik yang berada di bawah
kualitas standar itu. Dari kapasitas produksi 12.000 kg, Anton baru bisa
produksi sebanyak 2.400 kg per bulan. “Pasar saya masih terbatas,” terang
Anton.
Soal
harga, Anton menjual tali rafia itu seharga Rp 8.500 per kg. Dalam sebulan
Anton merengkuh omzet Rp 20 juta per bulan. “Margin keuntungan dari usaha ini
cukup menarik, bisa 30% dari omzet,” ungkap Anton.
Sayang,
Anton tidak bisa maksimal menjalankan bisnis karena jenis produknya masih
sedikit. Namun, belakangan ini, ia sedang mempersiapkan jenis tali plastik
spesifik untuk menjangkau segmen pasar tertentu. “Saya masih mempersiapkannya,
karena tidak mudah untuk bersaing di Jakarta,” kata pria yang juga karyawan di
salah satu perusahaan swasta itu.
Semakin
erat ikatan tali, semakin lezat keuntungannya
Tali rafia memang hanya seutas tali untuk mengikat. Tapi,
jangan salah, keuntungan yang diperoleh dari bisnis ini bisa berlipat. Proses
produksi tali rafia juga cukup mudah. Bahan baku yang digunakan juga cukup
mudah didapatkan.
Hampir setiap industri membutuhkan
tali rafia untuk mengemas. Karena itu, bisnis pembuatan tali rafia selalu
kebanjiran permintaan. Maklum, tidak hanya satu atau dua bidang bisnis yang
menjadi pasar incaran dari para produsen tali rafia. Konsumennya juga dari
pengguna rumahan sampai pengusaha pabrik.
Jumlah pengguna tali rafia yang
cukup besar ini membuat nilai jual tali rafia masih tetap terjaga. Selain itu,
beberapa produsen tali rafia juga meraup keuntungan. UD Nirwana Plastik, salah
satu produsen tali rafia di Bogor, Jawa Barat, misalnya, mampu menghasilkan 20
ton tali setiap bulan.
Harga jual tali rafia antara Rp
7.500–Rp 8.500 per kilogram (kg), tergantung dari warna tali rafia tersebut.
Sebagai contoh, harga tali rafia warna hitam Rp 7.500 per kg dan tali rafia
warna lain Rp 8.500 per kg. Warna hitam jauh lebih murah lantaran tidak
membutuhkan pewarna plastik.
Dewi Lestari, bagian pemasaran UD
Nirwana Plastik, menjelaskan, karena harga lebih murah, permintaan tali rafia
warna hitam jauh lebih banyak dari tali warna lain. “Penjualan tali rafia hitam
mencapai 60% dari total penjualan, selebihnya warna lain,” tuturnya. Hitung
punya hitung, total penjualan produsen ini bisa mencapai Rp 158 juta per bulan.
Kondisi serupa juga dialami oleh UD
Dewi Sri yang berada di Surabaya, Jawa Timur. Penjualan tali rafia bisa
mencapai 10 ton–15 ton per bulan. Harga jual produknya tidak jauh berbeda
dengan Nirwana, yaitu di kisaran Rp 7.000–Rp 8.000 per kg, bergantung pada
kualitas dan warna. “Harga jual tali rafia warna memang jauh lebih mahal,”
tutur Setyo Sugianto, pemilik UD Dewi Sri. Tak heran, Setyo mengaku mengantongi
omzet lumayan besar, rata-rata bisa Rp 100 juta–Rp 150 juta per bulan.
Marini, Manajer Pemasaran dan
Produksi Sapta Sarana di Blitar, Jawa Timur, juga mengaku mendapatkan order
yang cukup besar. Menurut dia, penjualan bisa mencapai 4 ton per bulan. Harga
jual mulai Rp 7.650–Rp 8.000 per kg. Omzet yang mampu diraup Sapta Sarana bisa
mencapai Rp 31 juta per bulan. “Bahan warnanya membuat harga tali rafia warna
jauh lebih mahal,” papar Marini.
Pasar Tali Rafia Luas
Para produsen tali rafia ini mengaku
rata-rata menjual produknya ke distributor atau agen. Ada juga yang dibeli
pabrik untuk pengemasan. Marini menjelaskan, rata-rata pembelinya adalah
penjual telur. Maklum di Blitar, banyak penjual telur. Selain pemakai langsung,
ada juga beberapa agen yang menjual tali rafia.
Penjualan tali rafia biasanya sistem
gelondongan. Selanjutnya, distributor menjual secara ritel. Hanya sedikit
produsen yang menjual ritel dengan kemasan kecil. “Penjualan dalam gulungan
kecil-kecil seperti itu hanya untuk menambah pendapatan saja tapi itu pun tidak
besar,” kata Setyo.
Kalaupun menjual dengan gulungan
kecil-kecil, produsen biasanya langsung memasok ke pasar, bukan barang pesanan.
Sebab, untuk mengemas tali rafia dalam bentuk gulungan kecil, butuh waktu dan
tenaga. Karena itu, rata-rata produsen tali rafia melemparnya kembali ke
distributor untuk menggulung dengan ukuran kecil.
Para produsen tali rafia menyatakan,
permintaan tali rafia sudah mulai banyak berdatangan dari luar Jawa. Setyo
memiliki konsumen dari Kalimantan dan Lombok. Nirwana Plastik juga sering
mendapatkan permintaan dari Lampung, Palu, dan Palembang. Hanya saja,
permintaan rutin paling banyak dari Jabotabek. Maklum, lokasi ini memang dekat
dengan proses produksi.
Selain omzet yang cukup menggiurkan,
keuntungan bersih yang mampu diperoleh juga lumayan. Rata-rata produsen mampu
mengantongi margin bersih sekitar 20%–25%.
• Modal awal
Memulai bisnis ini sebenarnya cukup
mudah. Anda tidak membutuhkan keahlian khusus. Sebab, peralatan yang wajib Anda
miliki sudah bisa mengerjakan secara otomatis. Anda hanya membutuhkan beberapa
karyawan untuk mengoperasikan mesin.
Ada dua tipe pembuatan tali rafia.
Pertama, mulai mengolah biji plastik kemudian dijadikan tali rafia. Kedua, ada
yang membeli biji plastik kemudian diolah menjadi tali rafia. Dua pola ini
menentukan modal yang Anda butuhkan.
Produksi tali rafia yang mengolah
sampah plastik menjadi biji plastik membutuhkan modal lebih besar. Maklum,
mesin yang dibutuhkan juga lebih banyak. Nirwana Plastik mengaku membutuhkan
tiga jenis mesin utama: mesin penghancur plastik, mesin pembuat biji plastik,
dan mesin pembuat tali rafia.
Jelas, kalau harus membeli tiga
mesin ini, modal yang harus disediakan cukup besar. Harga mesin penghancur
plastik bisa sekitar Rp 10 juta. Adapun mesin pembuat biji plastik (pelet)
sekitar Rp 25 juta per unit. Nah, harga mesin pembuat tali rafia sendiri
sekitar Rp 60 juta–Rp 80 juta. “Tergantung kondisi mesinnya,” ujar Setyo.
Dalam sehari, satu mesin ini
sebenarnya bisa menghasilkan 500 kg tali rafia. Syaratnya, karyawan bekerja
dalam dua sif sehari, yaitu mulai jam 07.00 sampai 19.00, dilanjutkan dari
19.00 hingga 07.00. Tapi, rata-rata produsen menyesuaikan kapasitas produksi
dengan permintaan. Artinya, mereka tidak selalu memaksimalkan kapasitas
produksinya.
Kebutuhan lain yang perlu disiapkan
berupa timbangan barang. Jika harus membuat biji plastik sendiri, Anda juga
perlu menyiapkan blower pengering bahan baku. Total kebutuhan modal jenis usaha
tali rafia dengan menghasilkan biji plastik diperkirakan sebesar Rp 150 juta,
sudah termasuk pembelian bahan baku di awal usaha senilai Rp 30 juta.
Jika ingin lebih menghemat modal,
Anda bisa memilih usaha tali rafia tanpa harus membuat biji plastik. Modalnya
sekitar Rp 100 juta, sudah termasuk termasuk membeli bahan baku awal dengan
nilai sekitar Rp 30 juta.
Sebaliknya, modal menjadi lebih
besar lagi jika Anda ingin memproduksi tali rafia dalam gulungan kecil. Sebab,
Anda mesti membeli mesin gulung rafia ukuran kecil seharga Rp 3,5 juta–Rp 6
juta per unit.
• Proses pembuatan
Cara membuat tali rafia sebenarnya
hanyalah mengolah biji plastik dalam sebuah mesin sehingga menghasilkan tali
rafia. Jika Anda memulai dari pembuatan biji plastik, Anda harus mencacah
sampah plastik berupa botol plastik, atau sampah plastik yang lain. Hasil
cacahan masuk ke mesin pemeletan yang akan menghasilkan biji plastik.
Biji plastik yang sudah dalam
kondisi kering lantas diproses dan dimasukkan ke mesin pembuatan tali rafia.
Mesin akan mengolah secara otomatis dari biji plastik menjadi tali rafia. “Di
mesin tersebut ada sistem pemanasan yang membuat biji plastik menjadi lembaran
tali,” kata Setyo.
• Karyawan
Jumlah karyawan yang dibutuhkan
dalam pembuatan tali rafia ini tidak banyak. Jika memulai dari mengolah biji
plastik, menurut Setyo, Anda cukup mempekerjakan dua hingga tiga karyawan. “Dua
orang memegang mesin cetak rafia dan mesin penggulung rafia,” kata dia. Seorang
lagi di bagian pengemasan. Tapi, jumlah karyawan bisa bertambah jika kapasitas
produksi terus meningkat. Selain menerapkan sistem shif, bisa saja Anda
menambah mesin produksi.
Sistem pembayaran karyawan bisa
menggunakan sistem borongan atau harian. Setyo misalnya, membayar karyawan
dengan sistem harian, yaitu Rp 45.000 per hari. Atau berdasarkan volume seperti
Marini di Blitar yang membayar pegawai Rp 175 per kg. Kalau Dewi, membayar Rp
500 per kg.
Sumber : http://restomesin.wordpress.com